Suara dari Balik Huruf
Oktober selalu terasa istimewa di sekolahku. Setiap tahun, kami merayakan Bulan Bahasa dengan berbagai lomba: membaca puisi, pidato, mendongeng, hingga menulis cerpen. Tapi bagiku, bulan bahasa bukan sekadar perayaan. Bulan ini seperti mengingatkan bahwa kata-kata punya kekuatan—kekuatan untuk menyembuhkan, mengubah, dan menyatukan.
Aku, Aruni, siswa biasa yang jarang bicara di kelas. Banyak teman yang mengira aku pemalu. Sesungguhnya, aku hanya merasa lebih nyaman menyimpan ceritaku dalam buku catatan, bukan di udara yang cepat hilang. Kata-kataku lebih rapi jika dituliskan.

Suatu hari, Bu Lesti, guru Bahasa Indonesia ku, mengumumkan lomba menulis cerpen.
“Tema bebas, tapi harus mengangkat pentingnya bahasa,” katanya sambil tersenyum.
Teman-temanku langsung ribut. Ada yang bingung mau menulis apa, ada yang malah tak peduli. Aku hanya menunduk, jantungku berdebar. Aku ingin ikut, tapi rasa ragu seperti bayangan yang selalu mengikuti langkahku.
Malam itu, aku membuka buku catatan kecilku. Aku mulai menulis tentang seseorang yang takut berbicara, tetapi menemukan dirinya melalui tulisan. Aku menulis tentang diriku, meski tak pernah kusebutkan nama. Huruf-huruf mengalir, seperti air yang akhirnya menemukan sungainya sendiri.
Seminggu kemudian, saat pengumuman pemenang, aku berdiri di antara teman-teman kelasku yang lain. Bu Lesti membuka amplop dan berkata,
“Juara pertama… Aruni, dari kelas X 1!”
Seketika kelas menjadi riuh. Aku membeku. Tanganku dingin.
“Aruni, maju ke depan,” kata Bu Lesti lembut.
Aku melangkah pelan, seperti sedang berjalan di atas awan yang mudah pecah. Tapi saat aku menerima sertifikat itu, aku merasa ada suara yang selama ini terbungkam akhirnya terdengar—meski tanpa berkata apa-apa.
Setelah acara selesai, Bu Lesti menghampiriku.
“Kamu tahu, bahasa bukan hanya tentang berbicara,” katanya. “Bahasa adalah cara hati kita bertemu dengan hati orang lain. Dan kamu sudah melakukannya.”
Aku tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, aku mengerti.
Bulan Bahasa tahun itu bukan hanya tentang lomba.
Bulan itu adalah saat aku menemukan keberanian—bukan untuk bicara, tapi untuk didengar.
Penulis: Lina Aprilia (X RPL 1)